Kalau Linux Mau Maju…


Bismillahirrahmanirrahim.

Tulisan ini diralat tata bahasa, susunan, dan referensinya pada 21 Oktober 2014.

Tulisan ini tersedia dalam PDF

Saya menulis ini sebagai catatan untuk masa depan. Tulisan ini isinya adalah harapan-harapan. Semoga itu bisa diwujudkan. Dan tulisan ini murni opini pribadi. Jadi siapa pun boleh mengambil atau membuangnya. Tentu, tulisan ini tidak lepas dari kesalahan dan tidak ditutup kemungkinannya untuk direvisi. Selamat membaca.

Batasan Masalah

Linux desktop, bukan server atau embedded.

1. Stop Bikin Distro Baru

1.1 Mari Melihat Fakta Jumlah Distro Linux

Perhatikan laman Distrowatch per 13 Oktober 2014 pukul 19.39:

http://distrowatch.com/search.php?status=All

Jumlah distro Linux di seluruh dunia versi mereka adalah 788. Tidak perlu mencari referensi lain.

1.2 Mari Merenungkan Fakta

Untuk memiliki satu buah sepeda motor, Anda diberi 700 pilihan. Orang yang memberi pilihan tentunya orang yang berniat baik. Namun apakah pilihan itu sendiri baik? Tidak.

1.3 Mari Mengetahui Dampak Fakta

  1. Waktu terbuang. Adakah orang yang mau mencoba satu per satu seluruh distro itu? Angka 788 hanyalah angka untuk nama, sedangkan per nama distro umumnya memiliki lebih dari 1 dukungan arsitektur dan lebih dari 1 versi.
  2. Duplikasi bug. Dengan banyaknya remasteran, maka bug yang ada dari distro asal akan terduplikasi ke dalam distro remasteran. Sedangkan profesi bug hunter adalah sulit dan jarang. Tidak mungkin setiap remasteran memiliki bug hunter yang kompeten.
  3. Tugas bertambah. Dengan banyaknya duplikasi bug, maka tugas membetulkan bug itu pun terduplikasi dan menjadi berlipat banyaknya. Sedangkan profesi bug hunter bukan dimiliki semua orang. Lalu siapa yang bertanggung jawab kepada pengguna jika terdapat suatu bug spesifik?
  4. Tugas lain ikut bertambah. Apakah pembuatan suatu distro (baca: sistem operasi) hanya terhenti di bugfixing? Tidak. Masih ada dokumentasi yang sudah pasti beda per nama distro. Dokumentasi itu sangat-sangat besar. Lihat contoh Wiki Archlinux yang sudah besar sekali. Membangun wiki semacam itu tentu lama sekali. Dan tentu saja dokumentasi Archlinux tidak cuma wiki. Itu belum termasuk artwork, DE, repositori, dan lain-lain.
  5. Ruang penyimpanan membengkak. Ada distro ada repo. Distro bertambah repo berlipat. Satu distro bisa punya 2 x 20 GB repo. Tidak semua server bisa menampung + me-maintain kontinu setiap repo yang ada.
  6. Bingung memilih. Bagi mereka yang telah memiliki pengalaman, memilih bukan hal sulit. Tetapi bagi pemula sebaliknya. Apalagi di dalam komunitas, jawaban yang muncul seringkali tidak satu suara.

2. Fokus Aplikasi

Yang hampir pasti selalu dibicarakan di forum Linux mana pun adalah aplikasi. Telah demikian banyak aplikasi free software dibuat untuk Linux, bahkan ada yang proprietary. Kita bisa melihat daftarnya di http://alternativeto.net atau semacamnya. Namun jelas di sebagian segi, aplikasi untuk Linux belum dapat 100% menggantikan fungsionalitas aplikasi untuk Windows. Sebutlah nama Microsoft Office, CorelDRAW, AutoCAD, FruityLoops, AfterEffects, DeepFreeze1, dan lain-lain. Berikut penjelasannya.

  1. Jika memang niat dan sumber daya pengembang cukup, maka kiranya pengembangan aplikasi untuk distro tertentu lebih efisien dibandingkan berdarah-darah membuat distro baru atau remasteran. Pengembangan di sini termasuk pula penerjemahan seperti http://translations.launchpad.net.
  2. Jika pengembangan aplikasi dirasakan sulit pula, maka jalan terakhir adalah fokus pada aplikasi dalam hal penulisan tutorial atau review atau hal-hal lain yang sifatnya mengajarkan aplikasi tersebut kepada masyarakat.

2.1 Contoh Masalah Aplikasi Desktop

  1. Printer Resetter untuk sebagian merek dan model.
  2. Aplikasi desktop yang portabel dan universal untuk pengajaran sekolah.
  3. Aplikasi office yang kompatibel 100% dengan format Microsoft.
  4. Aplikasi backup untuk aplikasi yang sudah terinstal.
  5. Aplikasi backup untuk konfigurasi yang dilakukan (semacam Deepfreeze).
  6. Aplikasi khusus belajar Linux.
  7. Dan lain-lain.

Tentu dengan catatan, nomor 3 mendekati mustahil untuk dibuat sendiri.

2.2 Contoh Solusi

Pengembangan diarahkan lebih kepada aplikasi daripada kepada sistem operasinya.

3. Portabilitas Aplikasi

Yang dimaksud portabilitas aplikasi di sini adalah kemampuan satu installer aplikasi untuk dipasang di

  1. Suatu distro tanpa meminta dependensi tambahan.
  2. Distro yang sama tetapi beda versi.
  3. Distro yang sama tetapi beda arsitektur.
  4. Distro berbeda (tetapi sama-sama DEB/RPM) dan beda versi. Misalnya antara Mint 17 dan Ubuntu 14.04.
  5. Distro berbeda dan beda arsitektur. Misalnya Mint 17 32 bit dan Ubuntu 14.04 64 bit.

Semua hal tersebut adalah sangat sulit dilakukan di Linux. Di Linux, hampir semua distro memanfaatkan sistem manajemen paketnya sendiri-sendiri (oleh apt, yum, urpmi, zypper, slackpkg, pacman, dll.) yang mengambil aplikasi selalu dari repositori terpusat semacam Applications Store. Saya tidak akan jauh menjelaskan sistem manajemen paket karena telah ditulis di sini, di sini, dan di sini. Namun saya akan menjelaskan kesulitan-kesulitan dan solusinya.

3.1 Kesulitan Portabilitas Aplikasi di Linux

Jangan buru-buru membantah. Saya membicarakan keumuman dan mayoritas. Saya tidak sedang memperhitungkan minoritas di sini. Satu paket di Linux bisa berwujud DEB atau RPM atau TGZ. Saya juga tidak sedang membicarakan manajemen paket ala Gentoo23 dkk. di sini.

  1. Di Linux, pada keumuman aplikasinya Anda melihat dynamic linking. Di Windows, pada keumuman aplikasinya Anda melihat static linking.
  2. Oleh karena itu, Anda melihat dependency resolving di Linux. Anda tidak melihatnya di Windows.
  3. Oleh karena itu, Anda mengunduh banyak paket untuk 1 aplikasi saja. Anda tidak melakukannya di Windows karena cukup unduh 1 paket EXE untuk 1 aplikasi.
  4. Di Linux, satu paket membutuhkan paket yang lain supaya bisa diinstal dan berjalan. Di Windows, satu paket sudah berisi paket-paket yang lain tersebut.
  5. Keuntungan di sisi Windows: Oleh karena itu, Anda pengguna desktop, menganggap instalasi aplikasi di Linux lebih rumit daripada di Windows. Atau sebaliknya, Anda merasa instalasi aplikasi di Windows lebih mudah dan sederhana daripada di Linux. Ini karena Anda cukup mengunjungi satu situs, mengunduh 1 EXE, dan menginstal aplikasi secara sempurna dari 1 EXE tersebut tanpa dependensi dan keuntungan jangka panjangnya 1 EXE ini bisa disimpan untuk diinstal di masa mendatang.
  6. Keuntungan di sisi Linux: Oleh karena itu, Anda hemat ruang HDD karena dynamic linking yakni satu paket yang dibutuhkan oleh banyak aplikasi, cukup satu kali diinstal dan tidak berulang-ulang kali diinstal di Linux.
  7. Kerugian di sisi Windows: ada kemungkinan paket diubah sebelum sampai ke pengguna, karena di Windows, tidak ada manajemen pemaketan terpusat4567 seperti di Ubuntu dan lain-lain. Oleh karena itu, Anda menemukan banyak paket yang berbahaya di Windows karena virus atau orang yang tidak bertanggung jawab. Kerugian lainnya adalah biasanya ukuran paketnya besar-besar (tentu karena memuat banyak paket lainnya).
  8. Kerugian di sisi Linux: instalasi aplikasi menjadi lebih panjang langkah-langkahnya (karena ada dependencies resolving) alias rumit dan installer aplikasi tidak bisa disimpan dengan mudah alias tidak bisa disimpan8 untuk instalasi jangka panjang di masa mendatang. Jadi, Anda tidak bisa9 mengunduh dahulu paket di komputer lain dari browser untuk diinstal kemudian di Linux, karena dependencies resolving tidak dapat dilakukan kalau komputer tidak tersambung langsung ke internet.
  9. Sistem satu paket di Windows inilah yang saya sebut sebagai single offline installer. Anda bisa instal suatu paket secara offline 100% di komputer Anda, tanpa harus terhubung secara langsung ke server tertentu selama instalasi berlangsung. Kita tidak bisa menyebut nonsingle offline installer untuk sistem multipaket di Linux, karena selama instalasi berlangsung, harus terjadi koneksi langsung antara komputer Anda dan server repositori.
  10. Itulah perbandingan antara sistem instalasi Windows yang 100% offline dengan Linux yang tidak 100% offline. Perhatikan penekanan-penekanan yang saya berikan. Cukup adil perbandingannya, bukan?

3.2 Contoh Permasalahan Portabilitas Aplikasi

Setelah membaca poin Kesulitan di atas, Anda setidaknya akan paham perbedaan sangat mendasar sistem instalasi aplikasi di antara kedua OS. Anda diharap paham mengapa orang menyebut instalasi aplikasi di Windows lebih mudah daripada Linux, dan tidak perlu ngotot. Dan Anda tidak bingung lagi mengapa saya membuat istilah single offline installer di sini. Sekarang Anda perlu melihat langsung contoh-contohnya. Inilah kesulitan yang dirasakan masyarakat Anda, entah Anda menyadarinya atau tidak.

  1. Ketika seseorang ingin memasang modem di Ubuntu, karena wvdial belum terinstal10, maka dia akan mencari di internet paket wvdial sesuai versi Ubuntunya (ingat poin-poin dalam portabilitas aplikasi di atas). Dia pasti mengunduh (di warnet atau yang lain) hanya paket wvdial itu sendiri, tanpa memperhitungkan dependensinya. Sampai di rumah, dia kebingungan karena ternyata wvdial membutuhkan paket yang lain. Ini terjadi terus menerus sampai paketnya dilengkapi semua baru wvdial berhasil diinstal. Sekalipun dia tahu semua dependensinya, keumuman orang akan malas mengunduh satu per satu dari laman berbeda seperti di pkgs.org. Ini satu poin kesulitan tersendiri, akibat kelemahan dari dynamic linking.
  2. Ketika seseorang tidak memiliki internet langsung di Linux, dia ingin menginstal satu paket, dia meminta kepada komunitas melalui handphone untuk diunggahkan aplikasi yang diminta. Jika dia menggunakan Windows, warga yang ingin membantu cukup mengunggah 1 paket EXE dan dia cukup mengunduh 1 paket EXE dan bisa diinstal sempurna di komputer offline. Karena dia menggunakan Linux, maka warga yang ingin membantu harus repot mencarikan dependensi dan mengunggah banyak dependensi tersebut plus memberitahukan cara instalasinya. Pertanyaannya, siapa yang mau repot melakukan itu? Ini sudah satu poin kesulitan berikutnya.
  3. Ketika seseorang ingin menginstal driver hardware di Linux, komputer dia harus online ketika instalasi berlangsung. Jika tidak, maka tidak ada driver yang diunduh. Pertanyaannya, jika si pengguna benar-benar offline 100%, bagaimana dia bisa menginstal driver yang dia butuhkan?

3.3 Contoh-Contoh Solusi Portabilitas

  1. apt-web buatan Fajran Iman Rusadi. Ini adalah salah satu solusi paling brilian yang pernah ada. Solusi ini benar-benar telah membantu banyak orang di Indonesia (termasuk saya). Namun, ada 2 hal penting. Pertama, solusi ini butuh server yang kuat dan di-maintain dengan konsisten. Sementara di Indonesia terlalu sedikit orang yang bisa/mampu melakukan itu. Kedua, solusi ini masih berpeluang dikembangkan ulang. Misalnya saja ditambah satu opsi untuk memaketkan seluruh dependensi jadi 1 ZIP sehingga pengguna hanya perlu mengunduh 1 paket, persis seperti Windows. Ini akan memotong banyak sekali kewajiban-kewajiban sehingga menghemat waktu dan usaha. Hasilnya efisiensi lebih maksimal diperoleh. Kendala: server tidaklah gratis dan konsistensi itu mahal.
  2. apt-id dan alldeb buatan Nifa Dwi Kurniawan. Ini adalah solusi yang begitu gemilang setelah adanya apt-web. Dua program ini bekerja di sisi client tanpa perlu server untuk mengatasi keterbatasan dynamic linking di Ubuntu. Begitu banyak orang yang sudah terbantu dengan keberadaannya. GUI untuk alldeb bahkan sudah ada, baik dari Nifa sendiri atau versi Qt buatan Slamet Badwi. Silakan kunjungi laman resminya di sini dan di sini.
  3. dot isi buatan wagung. Ini adalah solusi yang sejak awal kemunculannya sudah disambut dan sampai sekarang pun masih banyak di-request pembaca situs resminya sendiri (http://twitter.web.id). Konsepnya sama persis dengan single offline installer di Windows, satu buah berkas berekstensi ISI untuk menginstal satu nama program. Dependensi sudah disertakan di dalam ISI tersebut, sama persis dengan EXE di Windows. Tampak sekali kalau wagung paham betul kelebihan sistem instalasi Windows dan mengadaptasikannya dengan hampir sempurna di Linux. Sebuah cara yang jitu dan pantas saya puji.
  4. PortableLinuxApps. Jika Anda jeli, semua solusi yang saya sebut di atas adalah buatan orang Indonesia. Jelas betul, karena yang bermasalah dengan internet kebanyakannya adalah warga Indonesia. Warga luar negeri seperti Eropa tidak ada masalah sama sekali, karena internet mereka di sana tidak seperti di sini. Namun ternyata ada warga luar negeri yang membuat sistem persis seperti Windows yakni proyek PortableLinuxApps. Sepertinya dia sadar pentingnya masalah ini, hanya saja komunitas di luar negeri sana tampak kurang peduli. Tentu saja wajar, karena internet bukan lagi masalah bagi mereka.

3.4 Contoh-Contoh Ide Solusi

Ide-ide ini adalah murni dari saya pribadi. Anda bisa mempertimbangkannya.

  1. Service Pack. Anda pernah menggunakan Windows? Tentu Anda tahu service pack atau driver pack, suatu DVD yang isinya paket-paket untuk menginstal atau memperbarui sistem di Windows. Kenapa kita tidak membuat yang semacam itu saja? Bukan hanya semata-mata untuk upgrading, tetapi untuk instal aplikasi-aplikasi tertentu untuk distro tertentu. Misalnya service pack khusus untuk instal codec pada Ubuntu 14.04, service pack khusus desain grafis, service pack khusus driver NVIDIA, service pack khusus LaTeX, dan sebagainya. Jadi intinya si pengguna cukup unduh 1 paket yang berisi semua kebutuhan khusus dia. Entah ukurannya besar atau kecil, pengguna pasti akan mengunduhnya karena mereka butuh. Developer BlankOn dan IGOS layak mempertimbangkan ide ini.
  2. Enhanced apt-web. Mengulang yang saya katakan di atas, yaitu apt-web biasa dengan kemampuan pemaketan on the fly ke dalam 1 berkas untuk berapa pun dependensi yang ditemukan. Jadi pengguna minta 1 aplikasi, apt-web bertugas mengumpulkan itu semua ke dalam 1 berkas (misalnya ZIP atau RUN atau bahkan DEB juga), pengguna cukup unduh 1 berkas itu bukan semua dependensinya satu per satu. Kelemahan ide ini adalah kebutuhan resource yang sangat besar. Namun seandainya bisa diakali dengan pemrograman web yang memungkinkan batch downloading dalam 1 klik saja di sisi server, maka itu akan memudahkan.
  3. Distributed Dot ISI. Distributed dalam arti branding, dibikin suatu brand yang jelas untuk ISI yang dipioneri oleh wagung. Disebarluaskan dan diseminarkan, serta dipakai secara nyata di komunitas-komunitas internet. Contoh paling pentingnya dibuatkan situs khusus yang berisi dot ISI dalam kategori-kategori. Pengguna cukup cari sesuai distronya dan mengunduh mana yang diperlukan.
  4. alldeb dan apt-id. Ini karya cipta Nifa Dwi Kurniawan. Ini sangat brilian. Jika ini masuk ke repo resmi Ubuntu bahkan dipaketkan dalam ISO, ini akan sangat membantu pengguna Indonesia.

4. Waktu Rilis

Ubuntu dan beberapa distro lain memiliki jadwal 6 bulan sekali untuk rilis. Agaknya hal ini terlalu cepat bagi sebagian pengguna. Walaupun versi LTS didukung selama 5 tahun, tetapi nonLTS hanya 9 bulan (harus upgrade jika habis masanya). Debian memiliki jadwal yang lebih longgar lagi, prinsip Debian saja rilislah kalau sudah siap betul11. Archlinux memakai sistem rolling release, yang bisa dibilang forever LTS. Tidak ada kata support habis seperti Ubuntu nonLTS, karena versi lama tetap bisa 1) instal aplikasi 2) di-upgrade langsung ke versi paling baru.

Dalam hal ini, jika Anda pengembang distro, pertimbangkan kekuatan tim Anda. Bisakah Anda mengejar waktu rilis 6 bulan sekali? Sampai kapan tim sanggup melakukannya (apalagi jika tanpa feedback dana)? Buat saja selonggar mungkin supaya tim enak pengguna juga enak.

5. Android? Hardware!

Android dianggap sebagai saudara kandung Linux desktop kita. Ya, karena kernel Android juga Linux. Namun setidaknya ada satu hal yang membedakan Android dengan Linux desktop kita. Yaitu dukungan driver hardware. Android didukung langsung oleh Google dan Open Handset Alliance. Bagaimana dengan Linux desktop kita? Permasalahan yang kita hadapi sebenarnya kompleks sekali. Dukungan vendor-vendor hardware itu yang paling penting bagi sebuah OS. Namun justru itulah yang menjadi masalah di Linux desktop. Berikut penjelasannya.

  1. Android di dalam setiap perangkat, didukung oleh vendor hardware secara langsung. Jadi secara umum, tidak ada cerita error instal driver di Android. Linux desktop kita didistribusikan terpisah dari laptop/PC-nya dan tidak ada support secara langsung antara vendor hardware dengan laptop/PC kita.
  2. Keunggulan Linux: Linux itu sangat-sangat mandiri. Driver-driver dibuat sendiri, disertakan di dalam kernel, dan dia bisa mengenali semua hardware dalam laptop/PC kita walau kita tidak menginstal CD driver dulu.
  3. Kelemahan Linux: Linux desktop tidak seperti Windows (di ranah desktop) dan tidak seperti Android (di ranah mobile). Di dunia ini, bisa dibilang, seluruh hardware diciptakan dan dioptimalkan untuk Windows. Jadi jangan heran jika Anda selalu memperoleh CD driver untuk Windows setiap kali membeli suatu hardware. Ini karena produsen hardware sengaja membuat driver untuk Windows. Linux? Tidak selalu seperti itu. Ada produsen-produsen yang tidak merilis driver untuk Linux. Kalaupun merilis, drivernya tidak sesempurna driver Windows (misalnya sebagian driver VGA). Dan kalaupun merilis driver/hardware dikenali otomatis oleh kernel, sebagian mereka tidak merilis aplikasi bantunya untuk Linux (misalnya manajer GUI untuk modem USB).

Linux desktop dengan Linux mobile adalah berbeda satu sama lain. Berbeda jalan, dukungan, dan metode pemakaian.

5.1 Contoh-Contoh Masalah Hardware di Linux Desktop

  1. Modem USB. Kiranya Anda sudah mengerti kalau ZTE, HUAWEI, Haier, Sierra, AT&T, tidak membuat dan/atau memasukkan program manajer modemnya versi Linux ke dalam setiap modem. Hasilnya, banyak pengguna baru merasa kesulitan menginstal modem (walau ujung-ujungnya banyak yang berhasil melalui tutorial). Bagi profesional ataupun nonprofesional yang bekerja di bidang selain ngoprek, hal ini amat sangat mengganggu. Maka jelaslah bagaimana perasaan mereka yang enggan menggunakan Linux karena masalah ini.
  2. VGA. Berapa banyak sudah pertanyaan muncul di forum masalah layar BSOD12 di Linux karena driver VGA? Belum lagi masalah resolusi, artefak, dan watermark. Bagi profesional maupun nonprofesional, hal ini sangat mengganggu. Maka wajar kalau sebagian mereka sampai menolak karena masalah ini.
  3. WLAN. Berapa banyak sudah pertanyaan muncul masalah WLAN yang tidak dikenali sama sekali setelah instal Linux? Atau pertanyaan seputar performa WLAN di Linux?

5.2 Contoh Solusi Hardware di Linux Desktop

  1. Vendor-vendor hardware beraliansi untuk Linux. Seperti Google dan OHA, seperti HP dan Red Hat13.
  2. Vendor-vendor menyediakan hardware kompatibel Linux dan melabeli semua produknya dengan itu.
  3. Vendor-vendor menyengaja membuat hardware mereka kompatibel Linux dan menyengaja pula memasang label Linux ready di samping Windows dan Mac OS pada semua boks penjualan hardware.
  4. Vendor-vendor menyediakan driver resmi siap unduh pada situs resminya untuk Linux. Misalnya untuk printer: HP14, Canon15, Epson16, dan Brother17. Misal untuk server: HP dengan Red Hat Enterprise Linux18 atau HP dan SUSE Linux Enterprise19 atau HP dan Canonical Ubuntu20 atau HP dan CentOS21.
  5. Distro-distro besar mengadakan sertifikasi hardware22 untuk Linux. Ini akan meningkatkan drastis rasa percaya diri masyarakat menggunakan Linux dan hardware-nya.
  6. Vendor-vendor memasarkan PC built-up atau laptop dengan Linux prainstal. Ini sudah diawali oleh System76 (laptop23 dan desktop24), Dell25, dan Samsung (Chromebook26).
  7. Vendor-vendor pihak ketiga memasarkan PC atau laptop dari vendor asli dengan Linux prainstal. Contohnya EmperorLinux27, ThinkPenguin28, dan LinuxCertified29.
  8. Vendor-vendor kartu grafis merilis driver-driver mereka sebagai open source atau paling tidak memberikan kesamaan fitur driver proprietari antara Windows dan Linux. Supaya tidak ada lagi kejadian Linux panas atau kualitas grafis jelek karena kualitas driver yang “dibedakan” dari Windows.

Memang yang memegang peranan paling penting di sini adalah vendor hardware. Jika tidak, maka developer kernel dan driver Linux akan bekerja lebih berat membuat driver vesri open source (yang belum tentu 100% kompatibel).


1 Nama-nama aplikasi yang disebut di sini adalah komersial dan proprietari.

8 Bisa disimpan, tetapi lebih rumit dan panjang jalannya karena Anda harus berurusan dengan /var/cache/apt/archives dengan satu per satu melakukan instalasi dan menyimpan satu per satu dependensi paket dengan ketelitian tinggi. Ini karena pengunduhan paket tidak dipisahkan per nama aplikasi ke dalam folder-folder tersendiri. Hal yang sama berlaku untuk yang selain apt, misalnya yum dan lain-lain karena cara kerjanya sama secara garis besar. Maka bahasa yang cocok untuk ini adalah “tidak bisa disimpan”.

9 Bisa sebenarnya, tetapi sangat sulit karena 1) hanya Ubuntu yang memiliki situs semacam apt-web 2) kalaupun ada pkgs.org, Anda hanya bisa mengunduh 1 paket tanpa dependensinya karena sampai hari ini 17 Oktober 2014 mereka belum memiliki fitur dependencies resolving seperti apt-web 3) Anda harus mengunduh semua dependensi yang ditemukan satu per satu tanpa boleh ada yang terlewat atau komputer Anda akan error nantinya 4) situs hebat semacam apt-web membutuhkan admin yang bagus dan memiliki dedikasi tinggi kepada komunitas serta biaya yang cukup untuk mempertahankan keberlangsungannya. Cukup adil?

10 Saya menulis ini bukan berarti saya tidak tahu wvdial sudah ada di dalam CD Ubuntu itu sendiri. Sekali lagi, saya hanya membicarakan keumuman dan mayoritas. Berapa banyak orang yang tahu wvdial sudah disertakan di dalam CD Ubuntu? Sudahkah kita menulis tutorialnya?

12 Black Screen Of Death.

70 thoughts on “Kalau Linux Mau Maju…

  1. eri

    izin usul. JANGAN RILIS VERSI TERBARU TERLALU CEPAT!. ini bikin User males, belum menguasai versi satu udah muncul versi lainnya (contohnya ubuntu tuh setiap 6 bulan sekali luncurin versi baru). kalo bisa kaya Windows aja. dibikin service pack. :D

    Balas
    1. noveri22

      mungkin kalo buat ubuntu hilangkan dan tinggalkan versi Non LTS lalu lebih fokuskan mengembangkan versi LTS dan berikan dukungan lebih panjang mungkin 10-15 tahunan atau lebih, kalo bisa rilis LTS terbarunya jangan 3 tahun sekali udah rilis versi baru tapi dijadiin 7-8 tahun sekali atau lebih baru rilis versi baru biar pengembangan versi sebelumnya lebih sempurna dan para pengguna baru ga kebingungan dalam menupgrade Distronya

      Balas
      1. azzamsa

        Pengembangan LTS dalam dunia linux developer adalah sesuatu yang “agak” sulit, implementasi LTS bagi para developer adalah sesuatu yang di anggap “not fun” dikarenakan mereka harus melalukan fokus pada security patch terlebih dari pada mengembangkan fitur baru(Hertzog,2015:29)

  2. danangindrak

    saya sepakat dengan pandangan anda, seperti ubuntu (selain hubungannya dengan Cannonical), para pengembang juga memiliki kekuatan membangun sebuah produk (ubuntu), yang keren. walau mereka belum tentu menggunakan ubuntu. ga usah banyak2 dehh….yg penting 1 tapi keren….

    Balas
    1. Ade Malsasa Akbar Penulis Tulisan

      Alhamdulillah, saya bersyukur kepada Allah bahwa tidak semua orang menolak opini saya. Saya yakin sejak awal akan ada yang seide dengan saya :)

      Saya setuju dengan akang danang. Gak usah banyak-banyak. Yang penting 1 tapi keren! :D

      Balas
  3. Dede Mahmud

    Setuju !!!!.. memang distro yang ada sekarang sudah lebih dari kata CUKUP. Saya sendiri sudah bosan mencari dan mencoba distro2 terbaru, yang sering saya lakukan adalah melakukan update dari distro yang dipakai saat ini (Ubuntu). Sbg pengguna linux yang tidak mengerti cara utak-atik sistem linux / program, lebih bijak jika saya mempelajari lebih dalam lagi dari sebuah aplikasi yang sudah ada (contoh LibreOffice, GIMP). Agar kita benar2 bisa memanfaatkan FOSS tsb untuk kebutuhan kerja, belajar dan hiburan. Sehingga ketergantungan akan aplikasi berbayar bisa hilang dari benak saya…

    Balas
  4. arhsa

    aslkm.
    [Pengguna pasti bingung dengan wvdial dan usbserial] betul, ini pengalaman he….

    saya setuju tidak ada penambahan distro tapi tidak setuju dibatasi cuma satu distro. saya banyak nyoba distro-distro Linux dan yang paling enak dan mudah ini itu ya Ubuntu dan turunanya, cuma dari sekain keluarga Ubuntu dan distro lain yang pernah saya instal di delapan komputer dan satu laptop dengan spek berbeda hanya Sabily Badr (aka Ubuntu 11.04 Natty) yang sangat jinak. yang lain terkadang ada masalah terutama masalah vga yang bikin monitor berubah warna lalu hang.

    sebagai user amatir saya hanya ingin Linux berhasil di install di komputer manapun baik jadul atau canggih..
    maka, dari sekian distro hanya Sabily Badr yang masih nangkring sebagai primary OS dan terkadang di dualboot dengan Linux Mint Maya Cinnamon , walaupun begitu di virtual box ada selusin distro yang ikut nangkring sebagai pemuas rasa penasaran (bodhi, blankon, xubuntu, slitaz, joli os, puppy, reactos, trinity rescue, dan beberapa yang gagal di test seperti macpup, zorin, crome os lime dll.

    saya setuju pengembang linux harus fokus pada aplikasi.
    sebagai contoh, saya tidak suka Libre office karena terasa kaku menurut saya, masih mending open office walaupun serasa ms. office 2003, dan masih mending abi word namun terlalu sederhana untuk bisa menjawab tuntutan kebutuhan. contoh lain, Brasero bagus, tapi untuk beberapa hal dia menolak burning seperti jika ada data dalam satu folder dan didalamnya ada lebih dari delapan folder (kalau tidak salah).

    namun, diantara semua itu yang pasti ada kepuasan tersendiri saat menggunakan Linux. rasanya OS ini milik saya sepenuhnya, yang bisa saya perlakukan sekehendak hati saya tanpa takut ini itu…

    ala kulli hal… nice post, terima kasih atas artikelnya

    Balas
    1. Ade Malsasa Akbar Penulis Tulisan

      Alhamdulillah, memang saya yakin semua pengguna yang mengaku amatir di Linux pasti sudah mengalami banyak asam garam. Pasti sudah memiliki pengalaman, entah apa pun itu.

      Tapi pengalaman akang sudah jauh melampaui apa yang saya harap dari seorang komentator. Banyak sekali distro yang akang coba. Bahkan banyak yang saya baru tahu namanya.

      Semoga istiqamah. Saya gembira sekali mendapatkan komentator sepertimu. Barakallahu fiik…

      Balas
  5. Fuji Ahmad

    saya kurang setuju dengan pendapat “aplikasi A tetap bisa diinstal di distro A, B, C, D”, Kelemahan Distro Linux justru gak semua aplikasi bisa jalan disemua distro walaupun masih 1 Ibu (misal ibu Fedora). Ambil contoh saya pakai CentOS, kemudian install sebuah aplikasi, sedangkan aplikasi tersebut butuh dependency nya, dependency nya saya diambl dari EPEL repo (fedora), setelah terinstall, aplikasi tersebut tidak mau jalan. Beda dengan keluarga UNIX, aturan di UNIX itu universal, semua aplikasi di Unix bisa di install dan dijalankan oleh keluarga BSD baik semua turunannya (FreeBSD, PC BSD, OpenBSD)

    Balas
    1. Ade Malsasa Akbar Penulis Tulisan

      Selamat datang, Kang! Saya menanti orang seperti Anda. Ah, akhirnya ada yang datang :D Alangkah gembira saya menerima komentar darimu :)

      Maksud pernyataan saya adalah: misalnya GIMP, dia bisa diinstal di Ubuntu juga di FreeBSD. Bukan per paketnya, tapi per nama aplikasinya :)

      Terima kasih banyak, Kang. Wawasan baru bagi saya.

      Balas
  6. Aryan

    Berkunjung kang, hehe tulisan yang menginspirasi banget.. panjang banget lengkap banget.. kebetulan saya masih nyaman pakai Ubuntu belum coba yang lain karena udah nyaman sama yang ini meskipun beberapa operasi plastik gara gara wajah kurang cantik hahaha… salam kenal. subscribe dulu ajah :mrgreen:

    Balas
    1. Ade Malsasa Akbar Penulis Tulisan

      Silakan, selamat datang, Kang :D

      Alhamdulillah, saya harap ini bermanfaat buat semua. Kalau panjang, itu sudah kebiasaan saya suka buku yang tebal dibanding yang tipis. Namun sekaligus itu kelemahan saya yang susah meringkas tulisan, menjadikannya sederhana (makanya to be simple is difficult).

      Terima kasih banyak telah subscribe. Saya kira seumur hidup takkan ada orang subscribe ke sini. Terima kasih :D Alangkah senang aku menerima komentar darimu :)

      Balas
  7. Idris Kamil

    ini yang dari dulu ada di benak saya, hanya saja saya tidak tahu kepada siapa saya harus menyampaikannya :D saya sendiri pengguna setia ubuntu (dari 4 tahun yang lalu) yang sudah lelah mengupgrade dan menginstall aplikasi yang sama setiap rilis versi baru.
    semoga tulisan kang Ade ini bisa sampai kepada para pengembang distro khususnya di indonesia demi kemajuan OS maupun software halal untuk menggantikan OS maupun software bajakan yang membawa bencana (khususnya di akhirat) hehehe

    Balas
    1. Ade Malsasa Akbar Penulis Tulisan

      Alhamdulillah, alhamdulillah, saya bersyukur bahwasanya ada yang mendoakan “semoga tulisan kang Ade ini bisa sampai …”. Amin. Bapak Idris yang saya hormati, itulah tujuan saya. Karena saya merasa developer kita ada sedikit masalah di satu sisinya.

      Saya sendiri tidak pernah update selama menggunakan Ubuntu. Ideologi update tidak cocok untuk Indonesia yang masih miskin bandwidth. Barakallahu fiikum, Pak. Semoga Allah merahmati bapak dan keluarga bapak. Bapak telah mengucapkan perkara yang sangat besar:

      “…demi kemajuan OS maupun software halal untuk menggantikan OS maupun software bajakan yang membawa bencana (khususnya di akhirat)…”

      Anda telah mengingatkan saya. Terima kasih. Indah sekali.

      Balas
  8. Imam Indra Prayudi

    Kalau menurut pendapat saya, membuat distro Linux itu hak asasi manusia, khususnya programmer :) Harus dibedakan antara distro generik dan spesifik. Distro generik contohnya: Ubuntu, Fedora, Debian, SUSE, Mandriva, RedHat, Mint, dll. Distro spesifik contohnya: PartedMagic, CloneZilla, ChromeOS, SysRecueDisk, dll. Ada juga distro spesifik platform, khususnya embedded/mobile (Android, MeeGo, bada, dll). Memang sudah begitu adat istiadatnya dunia Free/Open Source Software.
    Sebenarnya, yang menjadi isu bagi pengguna awam adalah standarisasi (aplikasi, driver, filesystem), sebagai akibat tidak dominannya Linux di platform PC (desktop) yang dikuasai Microsoft Windows. Kita lihat di platform server, RedHat cukup dominan dan di platform mobile (smartphone), Android sangat dominan, dan relatif tidak ada masalah standarisasi karena sudah ada acuan defactonya. Sehingga, pengembang aplikasi/vendor perangkat keras PC akan cenderung mengembangkan untuk Windows, karena memang itu acuannya (untuk saat ini). Sedangkan pengembangan aplikasi/driver untuk Linux (desktop) menjadi ribet, karena harus mendukung sekian banyak distro, format package, lengkap dengan para supporternya.

    Balas
    1. Ade Malsasa Akbar Penulis Tulisan

      Pertama, selamat datang, Saudaraku Imam… Saya senang sekali menerima komentar Anda. Sangat niat dan berbobot. Tak ada yang Anda singkat. Saya apresiasi.

      Kedua, sesungguhnya saya sendiri bingung, tak menangkap maksud komentar Mas Imam. Saya setuju kalau hak membuat distro itu bebas, mandiri bagi masing-masing. Namun di sini saya anya tampakkan ide saya :)

      Adapun Red Hat dan Android, sudah menjadi sesuatu yang saya andalkan agar dilihat oleh vendor lain yang lebih kecil, untuk bikin inovasi di Linux. Insya Allah mas akan melihatnya sebentar lagi :)

      Terima kasih banyak :)

      Balas
  9. wegig w

    layaknya manusia didunia, ada berapa banyak suku? hitung sendiri… sama dengan orang bikin distronya sendiri dan saya rasa bahkan jika distro linux jadi cuma 1 pun dan distro apa yang cocok untuk pengguna seluruh dunia? sedangkan tampilan desktop saja ada berapa banyak? silahkan hitung sendiri. nah setiap tampilan desktop itu punya penggunanya sendiri dan sangat suka dan mungkin tak ingin untuk ganti. nah, bagaimana? padahal bagaikan memasarkan produk makanan, tampilan adalah nilai paling menjual sebelum rasa. nah, jangan bilang kalau tidak tau gelagat ubuntu yang sangat fokus pada unity dan bagaimana linuxmint dengan cinnamon. bahkan ubuntu beda tampilan saja nama sudah beda, ubuntu, xubuntu, lubuntu. akhirnya konklusi anda adalah ubuntu dengan unity sebagai 1 distro yang dimaksud.

    dan masih dalam topik, bagaikan bermusyawarah, jika pesertanya adalah seluruh dunia, dan bagaimana jadinya musyawarah itu sedangkan setiap orang akan punya pendapat sendiri tentang distro yang baik menurut diri mereka. dan ini akan jadi begitu luar biasa kacau dengan bagaimana dalam sebuah. jika kita bahas tentang windows kenapa orang terima saja dengan tampilan yang itu saja tanpa varian, dan bahkan mac. idenya adalah bagaimana mereka membuat sistem yang dia buat dapat diterima siapapun. dan bagi linux, keragaman adalah keindahan. seperti ALLAH menciptakan manusia dari Adam dan Siti Hawa lalu menjadi begitu beragam seperti manusia sekarang.

    langkah canonical dengan unity nya adalah langkah nyata dari sebuah distro yang akan memenuhi selera setiap orang. namun belum saatnya sekarang. semua ada waktunya. bukan dengan cara seperti stop bikin distro, itu sama saja dengan membelenggu kebebasan orang untuk berkreasi. terima kasih

    Balas
    1. Ade Malsasa Akbar Penulis Tulisan

      Terima kasih sebelumnya Kang Wegig telah menyempatkan diri berkomentar di sini. Alangkah senang saya menerima komentar. Namun, sungguh saya sendiri tak mengerti alur pikiran komentar akang. Saya sangat menghargai akang sudah menulis tanpa singkatan. Namun itulah saya, saya tak seberapa paham apa yang akang tuliskan.

      Begini. Ada beda area pemahaman di antara kita. Saya sarankan kang wegig banyak mendengar nasihat dari http://ilmoe.com atau http://bismillah.us. Saya banyak terpengaruh nasihat di sana dalam menulis tulisan ini. Kalau akang sudah satu bulang mendengarkannya, marilah kita kembali berdiskusi di sini :)

      Saya lebih menitikberatkan tulisan ini pada ide dasar saya yaitu kesederhanaan. Aneka ragam itu tidak selalu bagus, dan ini yang saya tak ingin lama-lama ada di Linux. Yang saya maksud, terlalu banyak distronya itu. Sudahlah, kita jujur saja kalau ini sangat merepotkan. Mana ada pengguna Windows masa kini yang mau repot-repot memilah satu-satu semua distro yang ada? Mereka inginnya instan. Dan poin pikiran saya, nggak sumbut kalau kita ingin pengguna Windows memakai Linux kita kalau kita sendiri tak menerima simplicity. Simplicity, less stress, perfect.

      Tak mengapa, saya terus membuka lapak ini untuk diskusi. Cobalah baca komentar kang Rizal Muttaqin pada laman ini: https://malsasa.wordpress.com/2012/12/02/menanti-distro-tanpasudo/#comment-337. Saya sungguh-sungguh merasa pengguna Linux harus belajar sisi nonteknis yaitu sisi psikis pengguna dan pemasaran :)

      Terima kasih banyak lho, Kang Wegig :D

      Balas
  10. Amri Newbiezier

    setuju banget kang, dah lama saya mencari yang seperti ini…

    saya kagum dengan windows, microsoft tertuju pada OS nya, sdangkan dunia terjutu pada app nya…

    salut saya, sedangkan linux, bahkan pengguna baru, bisa mengembangkan distro baru hanya dengan klik klik n klik…

    distro baru berhasil dibuat, tapi tidak mengerti sama sekali dengan dasar dari Operating System…

    beberapa linux jalan di beberapa komputer, dan linux2 tersebut tidak jalan di komputer lainnya…

    bahkan dengan processor yang sama, ini merupakan kesalahan fatal pada OS.
    padahal OS itu harus bisa meng-explorasi perangkat keras seutuhnya…

    liat deh Windows, seharusnya kayak gitu, linux ngak seberapa kayak gini, padahal distronya banyak sekli, tapi yg mumpuni hanya sedikit sekali…

    #CENDOL :D

    Balas
    1. Ade Malsasa Akbar Penulis Tulisan

      Terima kasih banyak akang telah menyubangkan pemikiran di sini. Saya hargai tinggi.

      :beberapa linux jalan di beberapa komputer, dan linux2 tersebut tidak jalan di komputer lainnya…

      bahkan dengan processor yang sama, ini merupakan kesalahan fatal pada OS.
      padahal OS itu harus bisa meng-explorasi perangkat keras seutuhnya…:

      Adapun pernyataan akang yang ini, saya kurang paham. Harus adil, Linux justru yang bisa berjalan di semua hardware mulai dari smartphone, pc, laptop, arsitektur semisal Raspberry, sampai server, mainframe, dan superkomputer. Coba akang lihat http://top500.org, hampir 99% superkomputer di sana memakai Linux. Sangat mengejutkan mesin dengan performa paling tinggi di dunia malah menggunakan Linux, bukan Windows.

      Kalau yang akang maksud adalah hardware yang drivernya tidak dikenali di Linux, itu baru nyambung :) Dan ini juga saya akui, saya setuju kalau Linux butuh banyak dukungan. Di sini memang Linux masih lemah. Ini realita :)

      Anyway, jangan lupa kalau Android juga Linux… :)

      Balas
  11. Slamet Riyanto

    abu abu dech…
    karena ini open source maka beginilah kejadiannya, bedakan sama microsoft windows series…:)

    Balas
    1. Ade Malsasa Akbar Penulis Tulisan

      Memang beda, tetapi user sangat perlu diperhatikan, Kang. Ide-ide gemilang sangat layak untuk dihargai.

      Dan Linux, ke depannya harus disederhanakan (demi kedua orang tua saya dan sekian banyak orang tua lain). Kalau Linux disukai banyak orang, kita-kita juga yang senang :D

      Terima kasih banyak atas antusiasme akang :D

      Balas
  12. Dio Affriza

    Semoga tidak ada lagi istilah developer dengan user saling ngotot masalah distro.
    Untuk masalah upgrade, lebih baik gak usah cukup update aja, kita bisa tiru windows, ada SP1, SP2, SP3, kan enak gak usah berbelit-belit dengan denpendency, semua tersedia dalam packge patch-update servicepack.
    Untuk sistem pengembangan aplikasi, katanya indonesia ada yang bikin bahasa pemrograman baru “BAIK” kalo gak salah namanya, diajak ke Linux, jangan sampai salah tempat lagi, user awam ha-ho diajak gabung, saya pribadi liat wiki atau dev center para Distro Lokal aja udah bingung dengan tampilan yang suram, apa lagi orang awam. :3

    Oke, kesimpulannya… Tirulah distro luar, karena kebanyakan distro Lokal itu disusun komunitas, kalo Ubuntu kan dikelola perusahaan Canonical, maka tirulah Mint, Mageia, dan teman-temannya.

    Balas
    1. Ade Malsasa Akbar Penulis Tulisan

      Tulisan akang sudah lebih bagus sekarang. Isinya pun pas sekali.

      Saya setuju kalau ada yang bilang developer ngotot vs user masalah distro itu tindakan bodoh. Maaf-maaf saja. Developer ya harus mengerti user, kalau tidak, mending tidak usah develop. Dagang kue cokelat atau membuat restoran saja.

      Inti komentar akang yang paling berguna adalah semestinya distro Linux meniru Windows. Apa salahnya menyederhanakan update jadi SP? Lebih sederhana, lebih portabel, lebih praktis, dan lebih memudahkan pengguna. Baru hari ini saya terima komentar mengenai SP untuk Linux. Ide akang ini bagus sekali.

      Komentar akang bagian akhir sepertinya kurang. Jangan tiru distro luar, nanti disama-samakan penggunanya dengan pengguna luar. Iya luar negeri internetnya kencang, Indonesia miskin bandwidth. Instalasi lewat repo seringkali mencekik pengguna akhir. Jujur saja. Semestinya mungkin komentar akang: tirulah Windows. Itu lebih masuk akal, lebih jujur, dan sebaiknya memang demikian. Membuat os = menantang Windows. Disadari atau tidak, terima tidak terima. Maka saingilah kesederhanaan Windows.

      Terima kasih. Saya sangat senang anak berbakat seperti akang ini datang ke blog saya. Saya merasa terhormat :)

      Balas
  13. Hizaro

    Halo mas Ade yg banyak ide ‘segar’ :)

    Saya termasuk pengguna baru yg belum genap berusia 5 tahun di Linux, lebih sempitnya di aplikasi open source. Sebelumnya (1998-2007) adalah pengguna OSnya Steve Jobs, dan beberapa tahun mampir ke OSnya Bill.

    Namun seiring waktu, saya terkesima dengan UBUNTU (dan FOSS) bukan karena ingin belajar bikin distro atau berganti OS, namun karena salah satu APLIKASI HEBAT bernama BLENDER. Bukan pula karena saya jenuh dengan MAX waktu itu, namun karena saya TERKESIMA dengan OPEN MOVIE Elephants Dream (2005) dan Big Buck Bunny (menyusul 2007) dari Blender Institute. Sejak 2006, saya “berburu Linux” dan jatuh cinta dengan Ubuntu karena GUI yg (minimal) bisa menggantikan OSX dalam hemat saya. Ia sungguh ‘bayi cantik’ yang belakangan saya adopsi hingga saat ini berumur 4 tahun di PC/Laptop saya.

    Beberapa ide pun muncul (sebagian besar sama) seperti diatas. Waktu itu pernah ‘disuruh’ berganti ke distro lokal (oleh salah satu pengembangnya), saya jawab: ” Saya tidak mau berganti, karena GUInya (terus terang) Jelek!” (agak kasar menurut saya). Bagaimana pun OSX masih yang terbaik menyoal kesederhanaannya, sampai dengan saya menemukan GNOME 3 akhirnya saya berkata: “ini desktop saya!”.

    Kembali ke target awal, terutama soal energi yang besar untuk membuat OS beserta distro turunan, saya pun sedang (dan belum terwujud) untuk membuat DISTRO BARU sesuai kebutuhan Open Studio, dengan beberapa programer yg ikut terlibat di IGN, namun tidak untuk kebutuhan umum, hanya untuk kebutuhan ARTIST (Animator, FIlm Maker, Desainer,dll). BEDANYA, Aplikasi didalamnya lebih SEDERHANA dan semua CUSTOM dengan merubah SOURCEnya, tentu disesuaikan dengan kebutuhan artist yang sudah di uji di studio (kelinci percobaannya adaah aplikasi Blender, Inkscape, dan GIMP). Sekali lagi INI BUTUH ENERGI BESAR. Benar! :)

    Kenapa OS artist? Jawabannya sederhana: “Semua hardware dan software komputer mengejar tampilan grafisnya!”. Dengan kata lain bahwa: JIKA KAMU BISA MEMBUAT KARYA ANIMASI YANG HEBAT DENGAN FOSS, MAKA KAMPANYE LINUX BERHENTI DISINI! #sedikit lebay biar heroik ;)

    Berikut alasan (boleh dikatakan ide) saya:
    1. Tak perlu banyak omong, bahwa dengan animasi, maka (hampir) semua aplikasi kamu libatkan, mulai dari pengolah kata, foto, renderfarm, hingga aplikasi grafis. Berkarya saja.

    2. OS-nya tentu ikut jadi sasaran karena aplikasi FOSS tentu dengan OS Linux juga. OS Windows tidak perlu dikhawatirkan lagi karena menurut saya itu bukan pilihan cerdas (org lama-lama capek sendiri) :).

    3. Ditangan orang hebat, tak peduli apapun OS, aplikasi, hardware, dll, maka semuanya bisa ‘dipakai’ untuk melahirkan KARYA HEBAT. Sebagai contoh film Jurasic Park 1993, alat yg dipakai tidak lebih canggih dari smartphone Android siapapun, sekarang.

    4. Semua org adalah UNIK dan Bebas. Biarkan saja orang memiih OS atau distronya sendiri, dan membuang energinya, nanti juga capek sendiri. Sementara bagi yang memilih hidup SEDERHANA/SIMPLE (bagi saya sederhana itu cerdas), ayo NGEBUT saja dan meninggalkan mereka. #sederhana itu rumit :p

    5. Tak perlu merubah kebiasaan orang Indonesia (pengguna linux?), kesuwen! (kelamaan) Dalam OPEN SOCIETY (masyarakat terbuka), dan tentunya OPEN SOURCE, tidak ada batasan negara, agama, RAS, dll. Dunia ini (FOSS/LINUX) adalah seperti “Dunia Mula-Mula”, semua bekerja, berbagi dan berevolusi alamiah. Padangan picik dengan mengelompokkan diri hanyalah akan menghambat satu sama lain saja.

    6. Benar, “Who can give simplicity first, he will win”, teruslah berevolusi dan makin sederhana, #seperti Jawa dan Nusantara.

    7. Euforia Linux itu masih terjadi, biarkan saja, alamiah saja. Bukankah ini sebuah proses evolusi?

    8. Mengutip Tan Malaka: Revolusi adalah mencipta. Jadi, ciptakan saja dan wujudkan ide-ide itu, dan lihat yg terjadi dengan PRO dan KONTRANYA, pilih yang sesuai kebutuhan saja.

    Masih banyak sebenarnya, namun saya sendiri yakin bahwa untuk memulainya tidak perlu kerja keras, cukup MINDSET (pola pikir saja yg diubah), salah satunya dengan tulisan ini. Ketika Ton Rossendaal(Founder Blender Institute) ditanya dalam sebuah wawancara: Kenapa Blender Tidak Ikut dalam Skala Industri besar? Jawabannya sederhana: Tidak, kami FOKUS ke USER! Menurut saya ini cerdas. Karena user akan membuat skala/kualitas industrinya sendiri, dan ini “Berbahaya” dari sudut pandang kapitallis (Monopoly Bisnis).

    Selamat Ber-evolusi semuanya :)

    Best Regard
    ~hizaro

    Balas
    1. Ade Malsasa Akbar Penulis Tulisan

      KaptenBlenderIndonesia main ke blog saya.

      Terima kasih, Mas. Sungguh menarik melihat komentar sepanjang ini di blog saya. Saya balas beberapa poin saja:

      1) Mengenai tampilan jelek distro lokal: memang jelek. Kalau kenyataannya demikian? Akang ini user. Berhak komplain kepada developer. Kalau dibandingkan dengan Mac, jelas jauh. Semua pengguna ingin dimengerti.

      2) Mengenai distro baru akang: siapkan enhancement untuk kernel-nya sampai betul-betul optimal di hardware akang. Siapkan betul antarmuka yang benar-benar baru. Kalau bisa, buat WM atau DE baru. Yang benar-benar menunjang desain. Ini akan membutuhkan energi yang benar-benar monster.

      3) Mengenai biarkan saja: tidak bisa, Kang. Jika dibiarkan, banyak energi dan waktu yang hilang. Kasihan mereka dan saya. Lagipula, tulisan ini jadi tidak ada kalau dibiarkan.

      4) Mengenai poin kelima akang: saya kurang paham. Penulisan koma akang kurang pas sepertinya. Dan bagi saya agama berperan paling penting. Saya menggunakan dan mempromosikan Linux karena agama saya. Bukan karena niat lainnya.

      5) Mengenai fokus ke user: saya tidak bisa menangkap maksudnya tetapi kalau maksudnya mengayomi user, maka saya pun akan demikian. Harus begitu.

      6) Saya tegaskan saya bukan fanatik Linux/OS lain. Saya menggunakan Linux karena halal, dan saya tidak menolak untuk menggunakan Windows kalau bisa meringankan hidup saya dan hidup orang. Saya mengambil manfaat dari aplikasi apa pun yang bisa dipakai selama ia legal. Saya netralis teknologi dan saya ingin mengambil keberhasilan Microsoft/Apple untuk promosi Linux.

      7) Mengenai poin 1 akang: saya dulu hobbyst game developer. Saya percaya kalau animasi pasti melibatkan hampir semua aplikasi. Karena saya membuat game. Animasi saja butuh banyak resource apalagi game. Game 3D pula. Namun saya telah meninggalkan semua itu karena agama saya. Dalam agama saya, memang dilarang untuk menggambar makhluk bernyawa, Kang. Jadi, saya mundur dari animasi/game development general untuk selamanya. Saya tak bisa mendukung gerakan akang.

      8) Saya tak sangka mendapatkan satu komentar yang seperti bom besar menggelora di sini. Saya tahu akang ini orang yang sangat memahami mahalnya sebuah ide, saya tahu akang ini orang yang mengerti to be simple is difficult. Saya mengerti akang ini orang yang tahu betul mahalnya kesederhanaan itu (karenanya kita berdua mengejarnya). Di Indonesia ini, sangat jarang orang yang menyadari pentingnya ide seperti akang ini. Percayalah.

      Kang Hiza, sudah lama sekali sejak [dot]BlendMagz pertama kali terbit. Sekarang saya telah berubah. Memang masih sangat suka desain tetapi saya kini lebih sering ada di komunitas. Kemudian saya merasa ingin untuk membuat aplikasi. Diferensiasi telah terjadi pada diri saya. Dan saya tetap akan pertahankan posting ini.

      Terima kasih banyak, Kang.

      Ade Malsasa Akbar

      Balas
      1. Hizaro

        Hey, Good Point :) Keep posting bro… saya menyukai essai ini dan semua ide menurut saya pasti punya hal dasar dan yang mendasari. Pertahankan! Terimakasih atas energinya :)

    1. Ade Malsasa Akbar Penulis Tulisan

      Saya heran kenapa WordPress tidak menayangkan komentar balasan saya. Sungguh, bagi saya esai akang itu adalah yang terbaik di ranah internet menjelaskan ide-ide brilian untuk Linux. Sungguh, saya tidak main-main.

      Saya merasa tambah senang ternyata saya tidak sendirian. Namun saya tetap dengan pendirian saya, tanpa leadership, regulasi mustahil terjadi. Harus ada leadership untuk Linux sebagaimana yang tercantum dalam paragraf 2 pada laman Wikivs ini http://www.wikivs.com/wiki/Apple_Innovation_vs_Microsoft_Innovation. Untuk pemerintah, benar beliau semualah yang bisa melakukan ini. Namun saya sengaja tidak memasukkan dalam esai ini karena menghindari larangan menjelekkan pemerintah di depan umum dalam Islam.

      Saya berterima kasih akang telah hadir. Saya ingin sekali berbincang yang lama dengan akang dalam masalah ini. Kita bisa bertemu di #ubuntu-indonesia. Atau kalau ketemu di dunia nyata, kita bisa berbincang santai berdua.

      Balas
  14. Dimitri Sandikovsky

    Pas baca tiba-tiba kebayang dipikiran saya distro asal indo entah apa aja, yg difokusin jadi satu pengembangan, lalu bisa bnr2 powerful utk dipakai banyak user dari indonesia. Mirip di cina yg mengembangkan OS-nya sendiri utk warganya dari engine linux.
    Saya setuju kalau memang distro linux itu di minimalisir, saya aja baru tau kalau distro itu ada 300an, ckckck.. Kasarnya gini deh, Linux memang open-source, tapi mentang-mentang open-source bukan berarti di buat asal-asalan lalu didistribusikan masal dong. Cos kalau gitu caranya, saya jamin TIDAK akan berhasil untuk menggaet user dari awam yg pada dasarnya belum mengenal Linux.

    Tapi ya itu tadi, saya tertarik dgn pengembangan open source dari Indonesia, server dari Indonesia, support dari Indo, semua serba lokal. T_T

    Balas
    1. Ade Malsasa Akbar Penulis Tulisan

      Terima kasih telah menyumbangkan ide yang segar di sini, Kang! Senang akang telah datang.

      Iya, distro = OS = butuh keseriusan absolut. Bukan asal-asalan. Karenanya hanya Blankon yang survive di Indonesia ini. Namun masih jauh dari harapan akang dan saya. Itu pasti. Kalau tidak percaya, bacalah literatur manis ini: http://www.wikivs.com/wiki/Apple_Innovation_vs_Microsoft_Innovation.

      Akang butuh tambahan senjata untuk terus mengembangkan teknologi Linux Indonesia. Mulailah dari posting orang Indonesia ini: http://bangberly.wordpress.com/2011/10/31/saya-menginginkan-gnulinux-seperti-macintosh/. Akang butuh itu untuk mengembangkan ke depan. Sungguh.

      Terima kasih banyak. Inovasi yang cemerlang dan berorientasi untuk memudahkan pengguna, itulah kunci keberhasilan nantinya.

      Balas
  15. Herbiejago

    Wah… Ternyata pikiran ane sama :D
    Saran ane :
    1. Distro rilis jangan 6 bulan sekali, maksimal 2 tahun sekali, dan diupgrade make service pack kaya di wedus Windows (-admin-) :D

    2. Jangan bikin distro baru kaya sabily, backtrack, blankon, dsb. Jadi misalkan distro ubuntu. Di USC ada ubuntu-muslim-package, jadi kalo di install tampilan dan aplikasinya bakal sama kaya distro sabily, dan bisa di switch juga :D . Jadi gak boros repo, space, dll

    3. Komen no 1 dan 2 digabungin, jadi distro linux jangan banyak-banyak. Maksimal hanya debian, redhat, ubuntu, dll (bukan remaster). Jadi contohnya di pikiran masyarakat, linux=ubuntu. Dan juga setiap rilis kaya debian, rilis jika sudah bener-bener betul dan bug diberantas walaupun pasti ada bug lain (gak terlalu banyak) :D

    Sebenernya ane masih banyak lagi yang mau disampein, nanti ane lnajutin :D
    Ane juga punya ide tapi bingung tuanginnya gimana :D
    Kalo linux belum maju juga, ane mau coba remaster debian dan mengikuti saran disini :D

    Sekian, waalikum salam wr. wb.

    Balas
    1. Ade Malsasa Akbar Penulis Tulisan

      Alhamdulillah, Allah tidak buat semua orang kontra dengan saya.

      Benar-benar sama yang kita pikirkan, Kang. Mungkin karena kita berdua telah sadar pentingnya kesederhanaan untuk pengguna. Iya, saya pun sangat setuju dengan ide Service Pack untuk Linux. Apalagi yang portabel cukup 1 berkas dan sekali klik selesai.

      Saya senantiasa menanti ide-ide akang. Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

      Balas
  16. Diegy Setenv

    wah…bagus sekali artikelnya, saya setuju sekali dengan gagasan anda,tetapi saya pun kurang setuju dengan ide anda.
    saya setuju kalo di negara kita itu mempunyai satu distro linux yang mewakili bangsa ini, ada berapa ya mas distro buatan anak negeri ini? sebelumnya saya boleh bertanya ya? apakah developer IGOS,Blankon dan Linuxbiasawae mau menyatukan distro mereka untuk bangsa ini? mungkin sedikit jawaban dari saya yaitu prinsip dan ideologi masing-masing developer berbeda-beda. kendala ruang dan waktu pun menjadi suatu alasan tepat.

    Balas
    1. Ade Malsasa Akbar Penulis Tulisan

      Sebelumnya, bisakah akang menunjukkan kepada saya bedanya gagasan dengan ide?

      Untuk masalah seperti ini, saya mengajak siapa saja untuk menilai dalam persepsi Islam. Nilailah dengan dalil, jangan dari hawa nafsu dan jangan dari ra’yu. Saya menulis ini untuk Islam dan kaum muslimin, begitu pula saya mempromosikan Linux kepada orang-orang. Bagaimana dengan Anda? Apa alasan Anda menggunakan dan mempromosikan Linux? Jika bukan karena Allah, maka sebaiknya berhenti sampai sini saja pembicaraannya. Saya tidak mau blog saya jadi ajang debat orang bodoh seperti ABL/forum lain.

      Balas
  17. denlulung

    tulisan yg menraik sekali, saya pengguna baru linux, memakai distro ubuntu. belum tahu banyak tentang linux, tapi saya pribadi setuju dengan tulisan ini.

    Balas
  18. Andika

    Yes! akhirnya ada ahli Linux yg sepemikiran dgn saya…
    Saya stuju skli dgn pmikiran Abang, Linux klw mau maju sprti Windows mka hrus bisa sesederhana Windows, minimal Kita ga’ prlu lgi nyentuh konsol, apa aja yg butuh hak akses tinggal pke password aja, ga prlu hpal” perintah, tinggal sediain aja perintah yg bisa dijalanin lewat GUI & Fokus pada aplikasinya…
    Klw Linux udah user friendly kayak gitu, saya yakin udah ga prlu lgi kampanye Linux, pasti smua yg bosan ama virus Windows bkalan pindah sndiri ke Linux…

    Balas
    1. Ade Malsasa Akbar Penulis Tulisan

      Bagi saya, pemikiran Anda cerdas. Itu pertama. Kedua, saya kira malah saya yang sepatutnya senang karena ternyata bukan cuma saya yang berpikir sedemikian. Ketiga, saya hanyalah seorang pemula. Buat selama-lamanya.

      Balas
  19. gnine

    membaca ini, membuat saya mengaduk2 beberapa artikel lama. teringat oleh saya tentang gagalnya UnitedLinux, rilis versi 1.0 kemudiian bubar jalan. padahal gak tanggung2 ada SCO (caldera), SuSE (sebelum dibeli Novell), Conectiva (distronya orang Brazil, sebelum merger dengan MandrakeSoft, jadi Mandriva. Synaptic yg terkenal itu, salah satu software besutannya) dan TurboLinux (anak skrg mungkin gak ngeh distro yg satu ini, salah satu distro paling besar di Jepang). Ide besar itu akhirnya luluh lantak. Kenapa? Konon katanya. SCO mengambil tindakan hukum terhadap Linux. (ini silakan googling sendiri deh)
    ======
    Ada pengalaman ketika saya pertama kali menginstal (GNU/Linux) Mandrake 8.0 (Traktopel). Ini distro full GUI. Bahkan pada jamannya saya akan berani bilang, instalasinya lebih gampang dr Windows 98 dan XP (eh jaman itu kykya instal windows 98 jg puyeng deh, tampilannya masih DOS, XP realtif lebih baik ketimbang Win 98). Mandrake installer (drakX) lebih bagus, IMHO, ketimbang milik RedHat ataupun SuSE. drakX, skrg dipake distro lanjutan mandrake, seperti mandriva dan mageia [http://doc.mageia.org/installer/2/en/content/installer.html] Mandrake Control Center spertinya ingin meniru Control Panel di Windows. Simple. [https://machrom.googlecode.com/files/Mandrake%20Control%20Center%20-%20Control%20Panel%20Gaya%20Linux.pdf]

    Dari sisi desktop, dulu Mandrake telah bikin semacam unifikasi tampilan antarmuka (distro lain belum, seinget saya). Sehingga kita tidak merasa sedang menggunakan KDE atau GNOME. Aplikasi gnome/gtk, tampil cakep di KDE, demikian sebaliknya. Tapi apa daya MandrakeSoft kolaps. Dan akhirnya berganti nama menjadi Mandriva. Yg kemudian ada fork dari Mandriva, Mageia.

    Dan satu hal yg saya inget dulu, selain menyediakan Download Edition (free), Mandrake juga membuat beberapa versi berbayar, macem versi windows saja, salah satunya Mandrake PowerPack.
    ======
    Apa yang saya tulis di atas ini, mungkin kang Ade telah mengetahuinya. Usaha memudahkan user (baru/lama) telah/pernah dilakukan paling tidak sejak tahun 2001. Usaha itu masih terus berjalan, gnu/linux kini lebih user friendly, walau masih menyisakan banyak hal yg belum tergarap. Sektor aplikasi perkantoran adalah salah satunya. OpenOffice/Libreoffice belum sanggup menandingi keberadaan MS Office, kalo tak mau dibilang kalah jauh.
    dalam pikiran saya, saya kepingin, bapaknya linux, Linus Torvalds mau terjun langsung menggawangi masalah per-desktop-an di gnu/linux. Kenapa? Karena bbrp komentar ketus dia justru ada di masalah desktop, terlepas “ribut2” terakhir dengan Sarah Sharp. Bahkan, yg menurut saya lucu, salah satunya, adalah ketika dia komentar, kenapa ketika putrinya menambah sebuah printer harus memasukkan password root? lucu kan? [http://www.h-online.com/open/features/Comment-Linus-s-daughter-1446928.html]. Padahal menurut bbrp orang, yg tahu _kenapa_nya justru dia. Distro cuman menyajikan saja.
    Ada lagi yg menurut saya lucu. Kang Ade menulis esai yg bagus ttg linux yg mudah bagi pemula. Tapi yg saya sedikti agak heran, di salah satu grup di fb (Ayo Belajar Linux), banyak juga para pemula justru dg bangga menggunakan distro pentest macem BT atau Kali Linux, kemudian bertanya salah satu perintah di CLI yg gak bisa jalan atau error. Hehehehe.
    ——-
    [demikian, sekedar pendapat saja, kalo ada yang kurang/salah tolong dikoreksi dan dimaafkan]

    Balas
    1. Ade Malsasa Akbar Penulis Tulisan

      Bismillahirrahmanirrahim.

      Sudah lama sekali saya menunggu untuk bisa berbicara dengan “orang lama”. Saya baru beberapa kali berbicara dengan orang semacam akang ini. Sangat sedikit.

      Pertama, saya adalah pengguna baru Linux. Mungkin kesan di komunitas saya seakan seperti orang lama. Tidak, saya baru mengenal Linux beberapa hari dan saya baru hari ini mendengar kisah dari akang. Ternyata begitu sejarahnya. Terima kasih banyak, Kang.

      Kedua, saya tidak menulis tulisan Linux dengan tujuan pamer atau mencari muka, wal’iyyadzubillah. Saya senang dengan hadirnya pengetahuan dari akang ini yang menjadi bukti mutlak perlunya berbenah. Agar tidak ada ceritanya orang masuk komunitas Linux hanya untuk memamerkan saya bisa pakai ini atau itu. Saya sendiri sudah maklum dengan anak-anak kita yang masuk komunitas lalu bertanya bagaimana cara ganti wallpaper padahal dia pengguna Backtrack. Dengan sikap yang baik, kita memang prihatin tetapi alangkah bagus kalau kita bimbing dia dengan cara yang baik. Dan kita perlu menyadari kebutuhan pembenahan itu karena banyak sisi Linux yang perlu diperbaiki.

      Ketiga, saya masih percaya, orang yang memiliki pengetahuan seperti akang, lebih pantas untuk mendirikan perusahaan Linux yang di situ banyak anak-anak model Backtrack sekarang, atau orang-orang yang aktif di komunitas, agar bekerja dan digaji. Itu pasti akang menyuburkan iklim Linux di Indonesia.

      Saya mengucapkan terima kasih banyak karena akang telah datang ke sini dengan sangat baik dan meninggalkan komentar yang bagus.

      Balas
  20. Willys Dirgantara Mudana

    dari awal kuliah sampe sekarang mau mengikuti ujian Tugas Akhir D3 Teknik Informatika, saya punya pikiran kenapa harus windows yg punya banyak pemakainya?padahal dari sistem keamanan masih jauh lebih aman linux maupun OS yg lainnya.
    dan baru saya temukan dari artikel ini..makasih atas jawabannya..
    udah hampir 3 tahun ingin mencoba pake linux tapi baru kesampain sekarang…hiks2…

    Balas
  21. Ping balik: The Quieter You Become, The More You Are Able To Hear | Ade Malsasa Akbar

  22. Ping balik: Kumpulan Esai Kritik Saya | RESTAVA

  23. ryamizar

    Saya bukan termasuk penggiat linux, karena bisa dikatakan saya termasuk pengguna yang masih galau, keinginan 3 tahun yang lalu, sudah tertanam di Notebook saya walaupun dualboot,
    sebagai pengguna pasif linux, saya hanya menginginkan distro yang bisa full support untuk kerja kantoran, mengimbangi semua pengguna dikantor yang semua masih menggunakan buatan Bill,
    Saya bisa menggunakan linux sendirian dikantor saya, namun masalah jika share file ke teman kantor, saya langsung bingung bagaimana agar bisa competible office dilinux dan office buat Bill, menggunakan Office buatan Bill di linux sama saja tidak menggunakan linux.
    Akhirnya saya mundur teratur sementara, karena masih belum mampu mengimbangi tuntutan pekerjaan kantor. Alhasil saya menggunakan linux pada saat diluar jam kantor saja, untuk belajar menulis, grafis, dan browsing saja.
    Pada inti nya, jika linux lebih user friendly kepada pengguna pasif seperti saya dan yang lain, bukan tidak mungkin bisa digunakan semua kalangan, dapat menjadi standar OS di instansi pemerintah, dan sebagainya.
    Alangkah indahnya jika linux dapat digunakan semua kalangan, baik programmer maupun orang awan,
    Saya masih belum mengerti mengenai KERNEL, GUI, KDE dan sejenisnya, namun jika saya buat pemikiran mudah, dimisalkan untuk sebuah distro A, jika penggunanya untuk kantoran, ada distro A versi office, untuk yang fokus desain grafis menggunakan distro A versi grafis misalnya, dan begitu pula yang lainnya, untuk programmer punya distro versi nya sendiri, hingga ke server, namun pada distro A berbagai versi tersebut saling tersinkronisasi antara satu dengan yang lain, contoh nya aplikasi pemutar musik dapat di install disemua versi Distro A. Walaupun nanti nya ada aplikasi berbayar di linux, pada inti nya harga nya jangan terlampau mahal seperti buatan Bill dan dapat dijangkau semua kalangan dan sistem penjualan aplikasi dipermudah, karena yang saya tahu linux bukan gratis tapi kebebasan, tidak semua aplikasi di linux gratis.
    Menurut saya tidak salah jika sedikit meniru buatan Bill dalam hal aplikasi.
    Aplikasi sudah dalam satu paket, dalam hal instalasi linux memiliki ciri khas, misalnya menggunakan terminal, karena ciri khas utama linux adalah terminalnya (ini menurut saya)

    Jika komentar saya banyak yang tidak dimengerti, saya mohon maaf, seperti yang saya tulis di atas, saya masih belajar menulis dan selalu ingin memperbaiki.

    Balas
    1. Ade Malsasa Akbar Penulis Tulisan

      Komentar akang bagus, yakni komentar yang memang saya harap dari seorang pengguna murni. Bukan developer.

      Pertama, saya sejak beberapa waktu lalu mengambil kesimpulan bahwa pengguna di Indonesia tidak pernah butuh OS. Mereka butuh aplikasi. Yang mereka cari adalah Photoshop, CorelDRAW, Multisim, Fruityloops, AVG, dan yang semisal itu. Sementara di antara mereka amat sangat jarang memperhatikan OS. Tentu saja ini karena yang namanya pengguna ya pengguna, hanya menggunakan sebatas menggunakan. Tidak berpikir untuk jauh mendalami OS-nya.

      Namun impian akang adalah impian saya juga. Impian kita semua. Saya harap, dalam waktu dekat ini kita melihat realisasinya.

      Saya tunggu akang di #ubuntu-indonesia @ freenode.

      Balas
      1. ryamizar

        Sangat tepat mas Ade, bagi yang hanya sebatas pengguna dan bukan develop seperti saya, aplikasi sangat penting adanya, terlebih aplikasi yang user friendly, dan memenuhi kebutuhan pengguna. Tidak perlu meniru tapi memberikan yang unik dan khas linux dan yang paling penting sangat nyaman digunakan untuk pengguna awam dan mudah dipahami.

        Insya Allah saya akan menyusul ke freenode

  24. Si Kampret

    menurut saya sih hak org membuat distro, karena justru disitulah letak kebebasan opensource, tapi yang terutama harus ada distro yg dijadikan standar,

    Balas
  25. hudatsuyoshi

    Sepakat kang

    Ada 1 hal yg saya amati beberapa tahun ini
    “Aplikasi office yang kompatibel 100% dengan format Microsoft.”

    Sebenernya kalau saya perhatikan format docx, pptx atau xlsx punya Microsoft, antara 2007, 2010 dan 2013 suka bikin kacau sekitaran teman2 saya. Format yg terbaru sering tidak bisa dibuka di format sebelumnya. Pengalaman saya pas masi pake Office 2007, ga pernah bs buka format 2010 atau 2013, akhirnya saya minta yg kirim dokumen ubah jd format 2003. Mungkin ada yg punya pengalaman sama

    Di sisi lain, kita bs lihat odt yg di tiap versi2 Libre berbeda (pengalaman saya jg :p) belum pernah bermasalah saya buka. Satu hal lg yg saya kagumi dr format ini, skrg sudah bisa dibuka mulai MS Office 2007 SP2. Kalau format odf ini bs lebih dipopulerkan, saya yakin bisa menggantikan format2 milik MS Office dan akhirnya malah format Microsoft yg mengikuti format Open Document

    Balas
  26. azzamsa

    Bismillah, saya kurang paham yang dimaksud “maju” disini dalam hal implememtasi teknologi atau maju dalam hal popularitas, untuk pertimbangan teknologi memang benar adanya untuk masalah bug, waktu, fokus ke main OS. tetapi untuk masalah popularitas sepertinya GNU tidak didesign untuk itu, terkait GNU memiliki filosofi yang sangat kental dan terkadang di sebut “uncompromised”. belajar dari sejarah x.org , GNU akan selalu ttp mempertahankan filosifo dari pada idealisasi popularitas dan mngenyampingkan aspek lain seperti yang dilakukan x.org (stallman,2010:223)

    Balas

Dilarang menggunakan emotikon